FEMINISME DIPANDANG DARI SUDUT PANDANG FILSAFAT ALIRAN IDEALISME DAN FENOMENOLOGI EDMUND HUSSERL
Feminisme
Menurut Kamla Bashin dan Nighat Said Khan (dua orang feminis dari Asia Selatan), feminise memiliki pengertian yang luas, yaitu suatu kesadaran akan penindasan dan pemerasan (diskriminasi) terhadap perempuan dalam masyarakat, di tempat kerja, dan dalam keluarga serta tindakan sadar oleh perempuan maupun laki-laki untuk mengubah keadaan tersebut. Selain sebagai sebuah gerakan, feminisme juga menjadi metode analisis (cara pandang) dalam menilai keberadaan wanita dalam sebuah masyarakat. Perbincangan tentang feminisme pada umumnya merupakan perbincangan tentang bagaimana pola relasi laki-laki dan perempuan dalam masyarakat, serta bagaimana hak, status, dan kedudukan perempuan di sektor domestik dan publik.
Pada abad 18 sering muncul tuntutan agar perempuan mendapat pendidikan yang sama, di abad 19 banyak upaya memperjuangkan kesempatan hak sipil dan ekonomi bagi perempuan, dan di abad 20 organisasi-organisasi perempuan mulai dibentuk untuk menentang diskriminasi seksual di bidang politik, sosial, ekonomi, maupun personal.
Feminisme Ditinjau dari Paham Idealisme
Idealisme adalah suatu ajaran/faham atau aliran yang menganggap bahwa realitas ini terdiri atas roh-roh (sukma) atau jiwa. ide-ide dan pikiran atau yang sejenis dengan itu. Idealisme menurut G. Watts Cunningham, adalah: suatu ajaran kefilsafatan yang berusaha menunjukkan agar kita dapat memahami materi atau tatanan kejadian-kejadian yang terdapat dalam ruang dan waktu sampai pada hakekatnya yang terdalam, maka ditinjau dari segi logika kita harus membayangkan adanya jiwa atau roh yang menyertainya dan yang dalam hubungan tertentu bersifat mendalami hal-hal tersebut. Aliran ini merupakan aliran yang sangat penting dalam perkembangan sejarah pikiran manusia. Mula-mula dalam filsafat Barat kita temui dalam bentuk ajaran yang murni dari Plato. yang menyatakan bahwa alam, cita-cita itu adalah yang merupakan kenyataan sebenarnya. Adapun alam nyata yang menempati ruang ini hanyalah berupa bayangan saja dari alam idea itu. Aristoteles memberikan sifat kerohanian dengan ajarannya yang menggambarkan alam ide sebagai sesuatu tenaga (entelechie) yang berada dalam benda-benda dan menjalankan pengaruhnya dari benda itu.
Seperti yang telah dibahas diatas, feminisme memiliki arti yang luas, feminisme dapat diartikan sebagai “diskriminasi” terhadap kaum perempuan, dan kemudian feminisme juga diartikan sebagai sebagai bentuk perhatian untuk memecahkan masalah diskriminasi tersebut.
Dalam kaitannya dengan kesetaraan gender, Kahlil Gibran dengan bijak mengatakan, bahwa diciptakannya perempuan dari tulang rusuk laki-laki merupakan simbol kesejajaran antara dua makhluk yang berlainan. Kata Gibran, perempuan tidak diciptakan dari atas kepala untuk disanjung, bukan pula diciptakan dari bawah kaki untuk dihina atau dilecehkan martabatnya, tetapi diciptakan dari tulang rusuk laki-laki untuk dilindungi hak-haknya, menjadi kawan hidup kaum Adam. Simbolisasi yang digambarkan Gibran di atas adalah deskripsi hubungan yang ideal antara laki-laki dan perempuan, yang seharusnya dapat dibangun untuk membentuk harmoni kehidupan. Karena laki-laki dan perempuan diciptakan untuk saling bergantung dan saling melengkapi kekurangan dari kelebihan masing-masing. Akan tetapi realitas yang kita hadapi berbicara lain, posisi kesejajaran yang digambarkan Gibran jarang kita temui, yang justru mendominasi adalah adanya ketimpangan. Tak dapat diingkari bahwa dalam faktanya, wanita memang menghadapi problema. Dan kita membutuhkan pandangan yang jernih untuk menganalisis bagaimana memecahkan problema tersebut. Dahulu wanita tidak disetarakan dengan laki-laki dalam hal pendidikan hingga politik. Wanita tidak diperbolehkan untuk menempuh pendidikan (sekolah), kegiatan ekonomi, social dan politik. Sehingga wanita menjadi kaum yang tertindas, dan selalu berada dibawah ketiak kaum laki-laki. Walalupun dalam sebuah rumah tangga memang sudah menjadi kodrat wanita bahwa hak dan martabatnya berada dibawah laki-laki (suami). Namun yang dituntut disini adalah kesetaraan hak dalam bidang pendidikan, hukum, politik, dsb, sehingga wanita dapat beraktualisasi diri sesuai dengan kodratnya.
Hal ini dapat dibahas dengan paham idealisme, paham idealisme menganggap bahwa realitas ini terdiri atas roh-roh (sukma) atau jiwa. ide-ide dan pikiran. Penganut idealisme sepakat bahwa dunia dan seluruh isinya termasuk manusia mempunyai makna, termasuk seorang wanita (Jadi wanita harus memiliki makna/arti yang lebih daripada hanya sekedar menjadi “ekor” kaum laki-laki). Tetapi yang dinamakan makna tadi harus senantiasa terdapat di dalam sutau sistem yang merupakan kebulatan yang logis/spiritual (Sistem disini tak luput dari kodrat kaum wanita).
Kemudian berdasarkan ide-ide dan pemikiran, serta diperkuat oleh kitab suci Al-Qur’an, maka Islam membagi peran wanita ke dalam dua bagian. Yang pertama adalah peran domestic. Peran ini adalah peran wanita di dalam rumah baik sebagai seorang istri bagi suami maupun sebagai seorang ibu bagi anak-anaknya. Peran ini menuntut wanita untuk tetap berada di rumah, melaksanakan segala kewajiban yang berkaitan dengan urusan domestic seperti merawat dan mendidik anak, melayani suami, mengurus pekerjaan rumah tangga, mengatur keuangan dan lain sebagainya. Peran yang kedua adalah peran publik. Peran ini adalah peran wanita di luar rumah. Peran ini menuntut wanita untuk beraktivitas di luar rumah. Menjalankan fungsinya sebagai anggota masyarakat, berinteraksi sosial, hingga untuk menempuh pendidikan. Wanita boleh memiliki profesi, mengaktualisasikan diri. Akan tetapi jika kedua peran tersebut bertentangan maka wajib bagi wanita untuk memilih peran public, karena (kembali kepada kodrat wanita) tugas utama seorang wanita adalah menjadi seorang istri dan seorang ibu. Wanita dilarang berkarier di luar rumah jika ia tidak diijinkan oleh suaminya dengan alasan karier tersebut membuatnya lalai dari tanggung jawab terhadap suami dan anak-anak.
Feminisme Ditinjau dari Fenomenologi Edmund Husserl
Fenomenologi yang dirumuskan oleh Husserl juga dapat digunakan untuk menganalisis pengalaman perempuan. Fenomenologi bisa digunakan untuk memaparkan dunia kehidupan dari kaum perempuan. Di dalam dunia kehidupan ini, setiap orang menciptakan realitas simbolik maupun realitas sosial mereka, dan mewarisi keduanya dari generasi yang hidup sebelum mereka.
Husserl melihat benda-benda sebagai benda-benda dan tidak sebagai gejala kesadaran saja. Yang muncul dalam kesadaran ialah gejala (phenomenon). Inilah yang disebut Husserl sebagai reduksi fenomenologis. Jika kita meninjau kasus perempuan maka, reduksi fenomenologisnya adalah feminisme.
Reduksi kedua yang dikemukakan Husserl adalah reduksi eidetis. Reduksi eidetis memandang bagaimana terjadinya suatu gejala yang dikemukakan reduksi fenomenologis tersebut. Dalam feminisme, diskriminasi terhadap kaum perempuan dan ketidaksetaraan gender antara laki-laki dan perempuan merupakan reduksi eidetis.
Selanjutanya reduksi ketiga adalah reduksi dari dunia biasa yang penuh hasil kebudayaan menjadi dunia umum untuk semua orang. Dalam reduksi ini, ego yang transedental melihat esensi-esensi yang umum tersbeut. Dalam feminisme, reduksi ketiga ini merupakan hasil akhir dari perjalanan feminisme. Yaitu, perjuangan kaum wanita untuk memperoleh kesetaraan gender.
Hasil dari ketiga reduksi itu, Husserl mencoba mencapai hal-hal yang menjadi dasar, mencapai realitas yang eviden dan nyata. Tujuan dari reduksi-reduksi tersebut dalam feminisme ialah, terbentuknya 2 peran yang dimiliki oleh wanita. Yang pertama adalah peran domestic. Peran ini adalah peran wanita di dalam rumah baik sebagai seorang istri bagi suami maupun sebagai seorang ibu bagi anak-anaknya. Peran ini menuntut wanita untuk tetap berada di rumah, melaksanakan segala kewajiban yang berkaitan dengan urusan domestic seperti merawat dan mendidik anak, melayani suami, mengurus pekerjaan rumah tangga, mengatur keuangan dan lain sebagainya. Peran yang kedua adalah peran publik. Peran ini adalah peran wanita di luar rumah. Peran ini menuntut wanita untuk beraktivitas di luar rumah. Menjalankan fungsinya sebagai anggota masyarakat, berinteraksi sosial, hingga untuk menempuh pendidikan. Wanita boleh memiliki profesi, mengaktualisasikan diri. Akan tetapi jika kedua peran tersebut bertentangan maka wajib bagi wanita untuk memilih peran domestic.